(UINSGD.AC.ID)-Berbicara tentang dialog antar agama adalah berbicara tentang Homo Sapiens. Secara historis, dialog antar agama sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Sejarah dialog antar agama telah ada sejak manusia mulai mengenali agama yang berbeda dari agama yang mereka yakini.
Menurut Cornille (2013), istilah dialog antar agama pada dasarnya memiliki makna yang luas. Namun demikian, istilah dialog antar agama sering kali digunakan untuk menjelaskan berbagai keterlibatan antara tradisi agama yang berbeda, dari mulai interaksi sehari-hari, debat para ahli, diskusi formal atau kasual para pemimpin spiritual atau institusional, hingga aktivisme sosial antar agama.
Hari demi hari kemudian, orang semakin menyadari pentingnya dialog antar agama. Dialog antar agama menjadi semakin penting karena manusia semakin memahami bahwa agama yang diimani oleh manusia sangat heterogen.
Kesadaran pentingnya dialog antar agama tersebut tercermin ketika dialog antar agama dibahas di Parlemen Agama Dunia (the Parliament of the World’s Religions), di Chicago pada tahun 1893. Apa tujuannya? Jelas, adalah perdamaian dunia dimana orang dari beragam latar belakang agama atau kepercayaan dapat hidup dalam keberagaman, karena tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama. Pendapat tersebut senada dengan pernyataan Hans Kung bahwa there is no world peace without the peace of religions. No peace of religions without an interreligious dialogue, and no interreligious dialogue without dives for the foundation of religions (tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama. Tidak ada perdamaian antar agama tanpa dialog antar agama, dan tidak ada dialog antar agama tanpa menyelami fondasi agama-agama).
Di Indonesia, dialog antar agama bahkan dilembagakan dan didanai oleh pemerintah. Kita, tentu saja, akrab dengan, misalnya, Forum Komunikasi Antar agama (FKUB) atau Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) yang bertujuan membangun dialog antar agama melalui perwakilan kelompok agama-agama.
Di satu sisi, manusia semakin sadar bahwa dialog antar agama adalah bagian penting dari upaya untuk mencapai perdamaian dunia. Di sisi lain, agama juga sering tertuduh sebagai salah satu penyebab konflik dalam sejarah manusia. Simak saja misal lirik lagu “imagine” yang diciptakan oleh John Lenon: “imagine there’s no heaven … no religion too, imagine all the people, living life in peace …” (Bayangkan tidak ada surga … tidak ada agama juga, bayangkan semua orang, menjalani hidup dalam damai…).
Kita tidak dapat mengatakan bahwa agama adalah satu-satunya sumber konflik dan jika tidak ada agama, itu berarti bahwa tidak ada konflik, tidak sama sekali. Seringnya, konflik tidak benar-benar hanya dipicu oleh agama. Justru, agama secara sadar acapkali digunakan oleh elit sebagai instrumen untuk menciptakan konflik. Disinilah dialog antar agama menjadi penting, karena untuk menghindari penggunaan agama sebagai instrument penyebab konflik atau kekerasan atas nama agama.
Upaya untuk mencapai perdamaian bersama melalui dialog antar agama telah, sedang, dan kemungkinan akan terus berlanjut. Ada banyak pemikiran yang disumbangkan oleh para ahli untuk mencapai misi tersebut.
Secara praktis, Cornille (2008) mengembangkan kondisi-kondisi yang menjadi prasyarat untuk mempraktikkan dialog antar agama, yaitu: ada kerendahan hati (humility), komitmen (commitment), interkoneksi (interconnection), empati (empathy), dan keramahan (hospitality).
Kelima prasyarat epistemologis di atas harus menjadi kesadaran individu dan kolektif dalam mengembangkan dialog antar agama, serta umumnya kehidupan keberagamaan di Indonesia yang majemuk. Dialog antar agama tidak boleh dibatasi hanya milik dan melibatkan elit agama, elit negara, dan elit masyarakat semata saja. Sebaliknya, semua masyarakat dan umat akar rumput harus terlibat secara aktif dan merata di setiap kelompok keagamaan mendorong dialog antar agama.
Asep Sandi Ruswanda (Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung)
Artikel Pentingnya Dialog Antar Agama pertama kali tampil pada UIN Sunan Gunung Djati Bandung.